19 Apr 2011

BETON 'OSTEOPOROSIS'

Di dunia kesehatan, osteoporosis adalah penyakit tulang yang mempunyai sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai mikro arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat akhirnya menimbulkan kerapuhan tulang. Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan bentuk.


Di dunia konstruksi ada komponen bangunan yang disebut beton bertulang. Sama dengan tulang dalam tubuh manusia yang fungsinya sangat penting, maka fungsi tulang (biasa disebut tulangan) dalam beton adalah untuk memperkuat beton dalam menerima tegangan tarik. Apabila tidak ada tulangan maka beton tidak dapat dipakai sebagai balok dan kolom dalam struktur bangunan.
 
Apakah tulangan beton bisa berubah kekuatannya seperti halnya tulang dalam tubuh manusia? Tulangan (besi) beton bisa juga berubah massanya ketika besi mengalami karat yang pada akhirnya menimbulkan kerapuhan pada tulangan beton. Apabila selimut beton tidak mencukupi, perubahan massa besi (setelah berkarat) bisa menyebabkan retaknya beton dan selimut beton terkelupas. Tulangan mengalami karat bisa disebabkan karena kualitas beton tidak baik dan selimut beton tidak cukup tebal untuk menahan rembesan air. Kualitas beton yang tidak baik contohnya seperti beton tidak padat / keropos sehingga air dengan mudah menembus sampai ke besi beton. Padahal syarat beton bertulang haruslah dibuat dari campuran beton yang kedap air.
 
Selimut beton yang tidak cukup ketebalannya ikut mempercepat karatnya besi beton. Dalam SNI sudah dicantumkan dengan jelas ketebalan minimum selimut beton (deking beton) untuk berbagai kondisi dan type struktur. Untuk beton yang berhubungan dengan air tanah, selimut beton disyaratkan minimal 70 mm. Tapi kenyataannya, dalam pelaksanaan di lapangan banyak orang yang tidak peduli dan menganggap sepele ketebalan selimut beton. Jangankan orang awam, banyak sarjana teknik sipil yang mengabaikan ketebalan selimut beton. Lihat saja di banyak trotoar, pelat beton penutup saluran drainase banyak yang patah karena tebal selimut beton sangat kurang. Karena tebal selimut beton kurang, maka pembesiannya cepat karat dan kekuatan pelat beton menahan beban menjadi berkurang. Maka jangan heran, konstruksi beton pun bisa mengalami ‘osteoporosis’.....

18 Apr 2011

DSDP KUTA DAN HOLIDAYS IN HELL


Oleh : Nyoman Upadhana
(Tulisan ini sudah pernah dimuat di Harian Bali Post, Senin 11 April 2011)

Beberapa hari yang lalu ada berita yang tiba-tiba muncul bagaikan sebuah bom, walaupun ledakannya tidak seperti Bom Bali I. Dan yang mengejutkan, berita tersebut ditulis oleh seorang wartawan dari sebuah media internasional (majalah TIME). Andrew Marshall, sang wartawan, menulis banyak tentang kondisi pariwisata Bali saat ini. Yang ditonjolkan lebih banyak sisi negatifnya. Judulnya pun menyeramkan “Holidays in Hell : Bali’s Ongoing Woes”


Dalam tulisannya, Andrew membahas sejumlah masalah yang melilit Pulau Bali. Pulau yang menurut dia masih menjadi tujuan wisata internasional, bahkan dianggap negara lain di Indonesia. Namun, Andrew menilai, infrastruktur pulau kurang cepat mengantisipasi perubahan pariwisata Bali. Andrew membuka tulisannya dengan kotornya pantai Kuta, salah satu lokasi wisata paling ramai di Bali.
 
Musim hujan yang cukup deras di Bali membuat sungai meluap. Alhasil sampah-sampah yang ada di sungai terbawa ke laut. Termasuk kotoran manusia. Sampah-sampah itu lantas berakhir di Pantai Kuta. Ini membuat awal Maret lalu otoritas Pantai Kuta melarang turis berenang di pantai tersebut lebih dari 30 menit. Khawatir terkena infeksi kulit. Selain masalah polusi di pantai, lanjut Marshall, Bali juga mengalami problem kekurangan air, listrik mati hidup, sampah yang berserakan, drainase, hingga kemacetan serta kriminalitas.

Beberapa hal yang ditulis oleh Andrew memang ada benarnya. Sampah yang berserakan di pantai kuta, yang dibawa oleh arus laut, tidak begitu cepat diatasi oleh pemerintah atau pengelola pantai dan dibiarkan menjadi onggokan sampah selama beberapa hari. Kondisi ini sudah terjadi berulang-ulang, sudah tentu tidak enak dipandang mata.

Perihal drainase di wilayah Kuta juga memang sangat memprihatinkan. Walaupun tahun 2004 sudah digelontorkan miliaran rupiah untuk perbaikan drainase, namun tetap saja bermasalah sampai saat ini. Hal ini disebabkan karena perbaikan drainase tidak berkelanjutan. Setelah proyek drainase tahun 2004 yang dianggap bermasalah oleh sebagian masyarakat, tidak ada lagi kelanjutan perbaikan drainase. Padahal untuk jalan Legian, drainase sisi timur sampai saat ini belum pernah tersentuh untuk diperbaiki.

Justru yang ditangani oleh pemerintah daerah hanya yang nampak dipermukaan saja, seperti perbaikan trotoar dengan batu granit dan pembuatan tembok penyengker sepanjang pantai kuta. Padahal yang memprihatinkan justru hal-hal yang tidak kelihatan, seperti kondisi air tanah yang mungkin sudah tercemar dan drainase yang penuh limbah padat dan limbah cair.

Masih banyak restoran dan hotel di Kuta yang membuang limbah ke drainase, dan banyak juga masyarakat mengalirkan limbah rumah tangganya ke saluran drainase. Padahal fungsi drainase sebenarnya hanya untuk mengalirkan air hujan. Tapi kenyataannya, banyak pipa pembuangan yang masuk ke drainase. Hal ini sudah berlangsung sejak lama, pemerintah kelihatannya tidak bisa mengatasi karena memang fasilitas untuk pengaliran air limbah belum siap. Alhasil, limbah cair pun tetap mengalir ke drainase kemudian masuk ke sungai dan akhirnya sampai ke laut.

Sejak tahun 2004 sebenarnya sudah ada rencana untuk pengerjaan proyek air limbah di daerah Kuta. Nama proyeknya DSDP (Denpasar Sewerage Development Project), satu paket dengan proyek serupa di wilayah Sanur. Tetapi karena masyarakat Kuta menolak dengan alasan trauma tehadap proyek drainase sebelumnya, akhirnya proyek dipindah ke wilayah Seminyak atas permintaan masyarakat seminyak sendiri. Dengan pendekatan yang baik, akhirnya masyarakat Legian juga menerima proyek tersebut. Sejak tahun 2008, wilayah Seminyak dan Legian sudah dapat menikmati layanan pengelolaan air limbah, sedangkan wilayah Kuta belum terlayani. Dengan sudah berfungsinya jaringan pipa air limbah di wilayah Seminyak dan Legian, seharusnya tidak ada lagi masyarakat, hotel maupun restoran yang membuang limbah cairnya ke saluran drainase.
 
Pentingnya pengelolaan air limbah untuk kesehatan lingkungan, apalagi Kuta merupakan daerah tujuan wisata paling ramai, akhirnya membuat masyarakat Kuta memohon agar proyek tersebut dilaksanakan juga di wilayahnya. Akhirnya pada awal 2010, pelaksanaan konstruksi untuk proyek Denpasar Sewerage Development Project (DSDP Tahap II) mulai dilaksanakan. Pemasangan jaringan pipa induknya sebagian besar dilaksanakan dengan metode jacking. Hal ini disebabkan karena jalan di wilayah kuta tidak begitu lebar dan kondisi tanahnya yang berpasir menyulitkan pemasangan pipa dengan sistim open trench (galian terbuka).

Proyek DSDP Tahap II di Kuta dikerjakan oleh kontraktor TOA-TOKURA-PP JO, joint operation antara kontraktor Jepang (TOA-TOKURA) dan BUMN (PT.PP). Kontrak dimulai sejak akhir 2009 dan diharapkan selesai awal 2012. Selama pelaksanaan yang sudah berjalan setahun lebih, hampir tidak ada komplin dari masyarakat asli Kuta. Ini disebabkan karena kontraktor cepat tanggap dalam menyelesaikan permasalahan, sekecil apapun permasalahannya. Kontraktor sangat profesional dan mengutamakan safety dan kualitas dalam bekerja, didukung dengan peralatan dan personil yang lengkap.

Komplin selama ini lebih banyak datang dari sopir taksi, yang merasa terganggu dengan adanya proyek. Padahal sebenarnya tidak ada proyekpun, Kuta memang macet. Sepertinya untuk wilayah sekecil Kuta, jumlah taksi sudah sangat banyak, yang otomatis sebenarnya sebagai penyumbang kemacetan. Coba saja perhatikan, sopir taksi seenaknya berhenti mengambil atau menurunkan penumpang, seakan tidak peduli dengan kendaraan lain dibelakangnya. Sopir taksi tidak (mau) tahu, bahwa sebenarnya tujuan proyek DSDP adalah untuk menyehatkan lingkungan sehingga wisatawan bisa dengan nyaman berwisata di Kuta Diharapkan wisatawan semakin bertambah dengan adanya lingkungan yang bersih, yang pada akhirnya dapat menyambung hidup mereka juga (sopir taksi).

Sebaliknya, wisatawan asing justru mengacungkan jempol ketika melihat pekerja sibuk siang malam memasang pipa jaringan air limbah. Mereka memang sudah lebih dahulu memahami pentingnya pengelolaan air limbah yang baik. Banyak wisatawan asing yang senang pemerintah sudah mulai menangani air limbah, mereka berharap beberapa tahun ke depan wilayah Kuta semakin bersih.

Proyek DSDP hanya merupakan satu penanganan masalah dari banyak masalah yang dikeluhkan oleh wartawan TIME. Masalah yang diatasi oleh DSDP hanya masalah limbah cair. Dengan berfungsinya jaringan air limbah di wilayah Kuta, nantinya diharapkan masyarakat, pihak hotel dan restoran tidak lagi membuang limbah ke saluran drainase. Dengan demikian kualitas air tanah menjadi meningkat dan kondisi air laut di pantai Kuta menjadi bersih.

Permasalahan yang lain, seperti sampah padat, kemacetan, kriminalitas, listrik, air, dan fasilitas publik tetap harus dicarikan solusi oleh pemerintah daerah dengan tindakan cepat dan nyata sehingga Kuta dan sekitarnya tetap menjadi tujuan wisata baik wisatawan lokal maupun internasional.

1 Apr 2011

Standar Kobe Perkokoh Sendai

Sendai menjadi contoh kota yang relatif kokoh terkena guncangan gempa besar dan tsunami. Meski terdekat dengan pusat gempa berskala 9 skala Richter, tak ada satu pun gedung bertingkat di kota ini yang rusak parah apalagi runtuh. Kuncinya adalah penerapan peta Bahaya dan Standar Kekuatan Bangunan.


Kekokohan kota Sendai— ibu kota Prefektur Miyagi—yang berjarak 130 kilometer sebelah barat episentrum, teruji ketika menanggung guncangan dahsyat, Jumat (11/3). Gempa Miyagi merupakan yang terbesar sejak Jepang mulai merekam fenomena geologi sejak 140 tahun lalu. Gempa diikuti tsunami setinggi 10 meter, yang menerjang hingga 8 km dari garis pantai.

Kekuatan gedung di Sendai, kota yang memiliki kepadatan 1.300 orang per km persegi, memang menonjol. Tak ada gedung bertingkat yang dilaporkan roboh. Padahal, tiga gedung di Kurihara, kota lain di Prefektur Miyagi, runtuh. Banyak pula gedung bernasib sama di Fukushima dan di Chiba, ibu kota Narita.
 

Goyangan tanah yang menerjang Pulau Honshu itu muncul sebagai efek dari desakan Lempeng Pasifik terhadap Lempeng Eurasia yang menjadi tempat tumpuan pulau itu dan kota Sendai, yang dikenal dengan nama kota hutan (mori no miyako) karena banyaknya pepohonan. Kota ini luasnya 788.09 km persegi, membentang dari pesisir yang menghadap Samudra Pasifik hingga ke Pegunungan Ou.
 

Kunci kekuatan gedung di kota berpenduduk lebih dari 1 juta orang itu, salah satunya, berkat penerapan standar ketahanan gedung terhadap gempa.
 

Semula Sendai tergolong kota yang rapuh. Kota ini pernah hancur diguncang gempa berkekuatan 7,4 SR pada 12 Juni 1978. Gempa itu menyebabkan runtuhnya sekitar 4.400 bangunan dan 86.000 bangunan lain mengalami kerusakan parsial. Meski begitu, korban yang meninggal dan terluka relatif kecil, yaitu 1.016 orang.
 

Standar Kobe
Penguatan bangunan, terutama gedung bertingkat, di Sendai menggunakan standar kekuatan gedung terbitan tahun 1996, yaitu peraturan untuk seluruh Jepang yang diberlakukan setahun setelah gempa yang memorakporandakan kota Kobe.
 

Gempa tektonik Hanshin- Awaji pada 17 Januari 1995 itu berepisentrum di utara Pulau Awaji di bagian selatan Prefektur Hyogo. Gempa disebabkan tiga lempeng benua, yaitu Filipina, Pasifik, dan Eurasia. Gempa menimbulkan kerusakan pada Kobe yang berjarak sekitar 20 km dari pusat gempa.
 

Gempa menelan korban 6.433 orang, sebagian besar merupakan penduduk kota Kobe. Gempa ini merupakan gempa terburuk di Jepang setelah gempa besar Kanto pada 1 September 1923 yang menewaskan lebih dari 140.000 orang di Tokyo, kota kedua terpadat di dunia.
 

Pada gempa Kobe, 250.000 bangunan rumah rusak dan sekitar 460.000 keluarga kehilangan tempat tinggal. Bencana itu memukul ekonomi Jepang. Total kerugian akibat gempa Kobe 10 triliun yen atau 2,5 persen dari PDB Jepang saat itu.
 

Standar baru yang diberlakukan secara nasional lebih kuat dua kali lipat dibandingkan standar sebelum gempa Kobe. Penetapan standar mengacu pada evaluasi gedung-gedung yang hancur akibat gempa berepisentrum dangkal itu.
 

Pembangunan Sendai mengacu pada kota Riverside di California, Amerika Serikat, sebagai sister city. Kedua kota itu memiliki kesamaan ancaman gempa tektonik bersumber dari Lempeng Samudra Pasifik.
 

Standar bangunan
Standar bangunan untuk penguatan struktur bangunan bertingkat dua ke atas disusun dengan mengacu pada Peta Bahaya (hazard) percepatan pergerakan tanah di batuan dasar akibat energi gempa.
 

Tiap lokasi memiliki percepatan pergerakan tanah, tergantung struktur lapisan batuan, keberadaan patahan dan sesar mikro di daerah itu, serta jarak dan posisinya terhadap zona subduksi, kata Mulyo Harris Pradono, pakar bangunan tahan gempa, yang juga Kepala Teknik Program Teknologi Pengurangan Risiko Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
 

Semua gedung bertingkat yang berada di daerah rawan gempa harus memiliki tiang pancang yang bertumpu hingga ke batuan dasar, agar kokoh bila terguncang gempa.
 

Perancangan kekuatan struktur gedung harus melihat sumber gempa dan masa gedung. Sisi bangunan yang berhadapan langsung dengan sumber gempa harus lebih kuat dibandingkan dengan sisi lain.
 

Pengamanan gedung dapat dilakukan dengan memasang isolator berupa bahan karet di bagian dasar gedung dan sistem peredam kejut, kata Mulyo, yang menamatkan doktor dari Kyoto University di bidang struktur tahan gempa.
 

Sumber : Kompas, 23 Maret 2011