Oleh : Nyoman Upadhana
(Tulisan ini sudah pernah dimuat di Harian Bali Post, Senin 11 April 2011)
Beberapa hari yang lalu ada berita yang tiba-tiba muncul bagaikan sebuah bom, walaupun ledakannya tidak seperti Bom Bali I. Dan yang mengejutkan, berita tersebut ditulis oleh seorang wartawan dari sebuah media internasional (majalah TIME). Andrew Marshall, sang wartawan, menulis banyak tentang kondisi pariwisata Bali saat ini. Yang ditonjolkan lebih banyak sisi negatifnya. Judulnya pun menyeramkan “Holidays in Hell : Bali’s Ongoing Woes”
Dalam tulisannya, Andrew membahas sejumlah masalah yang melilit Pulau Bali. Pulau yang menurut dia masih menjadi tujuan wisata internasional, bahkan dianggap negara lain di Indonesia. Namun, Andrew menilai, infrastruktur pulau kurang cepat mengantisipasi perubahan pariwisata Bali. Andrew membuka tulisannya dengan kotornya pantai Kuta, salah satu lokasi wisata paling ramai di Bali.
Musim hujan yang cukup deras di Bali membuat sungai meluap. Alhasil sampah-sampah yang ada di sungai terbawa ke laut. Termasuk kotoran manusia. Sampah-sampah itu lantas berakhir di Pantai Kuta. Ini membuat awal Maret lalu otoritas Pantai Kuta melarang turis berenang di pantai tersebut lebih dari 30 menit. Khawatir terkena infeksi kulit. Selain masalah polusi di pantai, lanjut Marshall, Bali juga mengalami problem kekurangan air, listrik mati hidup, sampah yang berserakan, drainase, hingga kemacetan serta kriminalitas.
Beberapa hal yang ditulis oleh Andrew memang ada benarnya. Sampah yang berserakan di pantai kuta, yang dibawa oleh arus laut, tidak begitu cepat diatasi oleh pemerintah atau pengelola pantai dan dibiarkan menjadi onggokan sampah selama beberapa hari. Kondisi ini sudah terjadi berulang-ulang, sudah tentu tidak enak dipandang mata.
Perihal drainase di wilayah Kuta juga memang sangat memprihatinkan. Walaupun tahun 2004 sudah digelontorkan miliaran rupiah untuk perbaikan drainase, namun tetap saja bermasalah sampai saat ini. Hal ini disebabkan karena perbaikan drainase tidak berkelanjutan. Setelah proyek drainase tahun 2004 yang dianggap bermasalah oleh sebagian masyarakat, tidak ada lagi kelanjutan perbaikan drainase. Padahal untuk jalan Legian, drainase sisi timur sampai saat ini belum pernah tersentuh untuk diperbaiki.
Justru yang ditangani oleh pemerintah daerah hanya yang nampak dipermukaan saja, seperti perbaikan trotoar dengan batu granit dan pembuatan tembok penyengker sepanjang pantai kuta. Padahal yang memprihatinkan justru hal-hal yang tidak kelihatan, seperti kondisi air tanah yang mungkin sudah tercemar dan drainase yang penuh limbah padat dan limbah cair.
Masih banyak restoran dan hotel di Kuta yang membuang limbah ke drainase, dan banyak juga masyarakat mengalirkan limbah rumah tangganya ke saluran drainase. Padahal fungsi drainase sebenarnya hanya untuk mengalirkan air hujan. Tapi kenyataannya, banyak pipa pembuangan yang masuk ke drainase. Hal ini sudah berlangsung sejak lama, pemerintah kelihatannya tidak bisa mengatasi karena memang fasilitas untuk pengaliran air limbah belum siap. Alhasil, limbah cair pun tetap mengalir ke drainase kemudian masuk ke sungai dan akhirnya sampai ke laut.
Sejak tahun 2004 sebenarnya sudah ada rencana untuk pengerjaan proyek air limbah di daerah Kuta. Nama proyeknya DSDP (Denpasar Sewerage Development Project), satu paket dengan proyek serupa di wilayah Sanur. Tetapi karena masyarakat Kuta menolak dengan alasan trauma tehadap proyek drainase sebelumnya, akhirnya proyek dipindah ke wilayah Seminyak atas permintaan masyarakat seminyak sendiri. Dengan pendekatan yang baik, akhirnya masyarakat Legian juga menerima proyek tersebut. Sejak tahun 2008, wilayah Seminyak dan Legian sudah dapat menikmati layanan pengelolaan air limbah, sedangkan wilayah Kuta belum terlayani. Dengan sudah berfungsinya jaringan pipa air limbah di wilayah Seminyak dan Legian, seharusnya tidak ada lagi masyarakat, hotel maupun restoran yang membuang limbah cairnya ke saluran drainase.
Pentingnya pengelolaan air limbah untuk kesehatan lingkungan, apalagi Kuta merupakan daerah tujuan wisata paling ramai, akhirnya membuat masyarakat Kuta memohon agar proyek tersebut dilaksanakan juga di wilayahnya. Akhirnya pada awal 2010, pelaksanaan konstruksi untuk proyek Denpasar Sewerage Development Project (DSDP Tahap II) mulai dilaksanakan. Pemasangan jaringan pipa induknya sebagian besar dilaksanakan dengan metode jacking. Hal ini disebabkan karena jalan di wilayah kuta tidak begitu lebar dan kondisi tanahnya yang berpasir menyulitkan pemasangan pipa dengan sistim open trench (galian terbuka).
Proyek DSDP Tahap II di Kuta dikerjakan oleh kontraktor TOA-TOKURA-PP JO, joint operation antara kontraktor Jepang (TOA-TOKURA) dan BUMN (PT.PP). Kontrak dimulai sejak akhir 2009 dan diharapkan selesai awal 2012. Selama pelaksanaan yang sudah berjalan setahun lebih, hampir tidak ada komplin dari masyarakat asli Kuta. Ini disebabkan karena kontraktor cepat tanggap dalam menyelesaikan permasalahan, sekecil apapun permasalahannya. Kontraktor sangat profesional dan mengutamakan safety dan kualitas dalam bekerja, didukung dengan peralatan dan personil yang lengkap.
Komplin selama ini lebih banyak datang dari sopir taksi, yang merasa terganggu dengan adanya proyek. Padahal sebenarnya tidak ada proyekpun, Kuta memang macet. Sepertinya untuk wilayah sekecil Kuta, jumlah taksi sudah sangat banyak, yang otomatis sebenarnya sebagai penyumbang kemacetan. Coba saja perhatikan, sopir taksi seenaknya berhenti mengambil atau menurunkan penumpang, seakan tidak peduli dengan kendaraan lain dibelakangnya. Sopir taksi tidak (mau) tahu, bahwa sebenarnya tujuan proyek DSDP adalah untuk menyehatkan lingkungan sehingga wisatawan bisa dengan nyaman berwisata di Kuta Diharapkan wisatawan semakin bertambah dengan adanya lingkungan yang bersih, yang pada akhirnya dapat menyambung hidup mereka juga (sopir taksi).
Sebaliknya, wisatawan asing justru mengacungkan jempol ketika melihat pekerja sibuk siang malam memasang pipa jaringan air limbah. Mereka memang sudah lebih dahulu memahami pentingnya pengelolaan air limbah yang baik. Banyak wisatawan asing yang senang pemerintah sudah mulai menangani air limbah, mereka berharap beberapa tahun ke depan wilayah Kuta semakin bersih.
Proyek DSDP hanya merupakan satu penanganan masalah dari banyak masalah yang dikeluhkan oleh wartawan TIME. Masalah yang diatasi oleh DSDP hanya masalah limbah cair. Dengan berfungsinya jaringan air limbah di wilayah Kuta, nantinya diharapkan masyarakat, pihak hotel dan restoran tidak lagi membuang limbah ke saluran drainase. Dengan demikian kualitas air tanah menjadi meningkat dan kondisi air laut di pantai Kuta menjadi bersih.
Permasalahan yang lain, seperti sampah padat, kemacetan, kriminalitas, listrik, air, dan fasilitas publik tetap harus dicarikan solusi oleh pemerintah daerah dengan tindakan cepat dan nyata sehingga Kuta dan sekitarnya tetap menjadi tujuan wisata baik wisatawan lokal maupun internasional.
0 komentar:
Posting Komentar